Konstitusi telah memberikan mandat kepada pengelola negara untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 yakni adanya kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Untuk mewujudkan amanat konstitusi tersebut, pemerintah telah melaksanakan pembangunan di berbagai aspek kehidupan politik, keamanan, ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini senada dengan Visi dan Misi Pemerintahan Jokowi-JK dengan Nawacitanya “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara tersebut menjadi amanah bahkan undang-undang ini menjadi satu-satunya undang-undang yang bisa menggabungkan paling minim 3 (tiga) undang-undang yaitu undang-undang perairan No. 6 Tahun 1996, undang-undang Zona Eksklusif Indonesia No. 5 Tahun 1983 dan Undang-Undang Landas Kontinen Nomor 1 Tahun 1973. Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 pun belum cukup menciptakan ruang untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan, pulau-pulau kecil dan terpencil dan daerah laut mulai dari perairan pedalaman sampai pada laut lepas. Mulai tahun 2014 lahir lagi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang juga menciptakan masalah baru karena menariknya sebagian kewenangan dari Pemerintah Kabupaten dan Kota ke Provinsi dan ke pusat.
Penelitian Empiris RUU Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang bekerja sama dengan Program Studi Ketahanan Nasional Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Focus Group Discussion dilaksanakan tanggal 23 April 2019 di Ruang Sidang A, Lantai 5 Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, bermaksud untuk menjaring masukan secara akademis tentang urgensi dan substansi yang perlu diatur dalam Naskah Akademik dan RUU Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara.
Dalam sambutannya selaku Ketua Program Studi Ketahanan Nasional Prof. Dr. Armaidy Armawi, M.Si. menyampaikan masalah yang selalu menghantui wilayah perbatasan di Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa “mengelola daerah perbatasan tentu tidak hanya memperhatikan aspek praksis dalam sosial ekonomi, melainkan juga keamanan. Karena menjaga keamanan di perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan pembangunan kawasan perbatasan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan sosial budaya, ekonomi, politik dan pertahanan. Sementara itu, terwujudnya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan secara langsung dan tidak langsung akan mampu sebagai penangkal terhadap setiap potensi ancaman keamanan”
Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk Focus Group Discussion yang dihadiri oleh 25 peserta yang terdiri dari kalangan dosen, mahasiswa, tokoh masyarakat dan organisasi non-pemerintahan yang concern dengan permasalahan wilayah negara baik dalam penetapan batas wilayah negara, hak negara, kedudukan lembaga pengawasan batas negara, kewenangan pengelolaan perbatasan wilayah negara, pembangunan kawasan perbatasan dan penataan ruang wilayah negara. Focus Group Discussion ini dimulai dengan pemaparan dari tiga orang narasumber utama, yakni: Dr. Halilul Khari, merupakan tim ahli RUU DPD RI, Prof. Dr. Armaidy Armawi, M.Si selaku Ketua Program Studi Ketahanan Nasional, dan Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. Ketiganya tersebut membahas konteks pokok-pokok gagasan untuk penyusunan RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara.